“Lulusan pertanian saja sekarang nggak mau kok jadi petani.” Nah, dari kalimat ini saja kita sudah bisa meraba masalahnya. Bukan cuma pemuda yang jauh dari dunia pertanian, bahkan yang lulusan fakultas pertanian pun ogah balik ke sawah. Bukan tanpa alasan sih, mereka lebih pilih jalan lain. Ya siapa yang bisa menyalahkan? Banyak faktor yang bikin anak muda sekarang malas jadi petani. Mulai dari stereotip negatif, penghasilan nggak pasti, sampai akses teknologi yang kadang cuma isapan jempol.
Mari kita jujur-jujuran. Citra petani di mata masyarakat kita itu nggak seksi. Kerja di sawah, bawa cangkul, kotor-kotoran di bawah terik matahari. Kalau pun ada yang mau angkat jadi konten Instagram, ya paling cuma buat konten aesthetic sesaat, habis itu balik lagi ke Starbucks. Petani itu kerap dipandang sebelah mata. Ditambah lagi kalau kita ngomongin soal status sosial, pekerjaan ini dianggap nggak punya gengsi. Orang lebih bangga pamer lencana “staff startup” di LinkedIn daripada bilang “gue petani bro.” Padahal, kalau kita lihat dari potensi ekonomi, dunia pertanian ini bisa banget menghasilkan cuan yang nggak main-main.
Tapi ya balik lagi, stigma yang udah melekat dari dulu itu susah banget dicabut. Anak muda sekarang, apalagi yang berpendidikan, lebih milih kerja di kantor dengan AC sejuk, nongkrong di coffee shop, dan punya jadwal kerja yang lebih teratur. Bandingkan dengan petani yang harus bangun subuh, nyemprot hama, dan pusing mikirin harga gabah yang naik turun kayak rollercoaster.
Selain soal citra, masalah ketidakpastian ekonomi juga jadi salah satu alasan kuat kenapa pemuda sekarang malas jadi petani. Coba deh, siapa sih yang mau ambil risiko besar kalau ada pilihan kerja yang lebih stabil? Pertanian di Indonesia masih terikat sama faktor cuaca, hama, dan fluktuasi harga pasar yang nggak bisa diprediksi. Sering kali, petani kecil yang paling kena dampaknya. Nah, karena itulah, lulusan pertanian lebih milih kerja di perusahaan agribisnis besar atau malah pindah ke sektor lain daripada nekat buka lahan sendiri. Wajar aja, apalagi kalau mereka mikir, “ngapain capek-capek kalau bisa kerja lebih aman?”
Selain itu, dukungan pemerintah juga belum maksimal. Program-program yang katanya untuk mendukung petani sering kali terjebak di birokrasi atau malah nggak tepat sasaran. Subsidi pupuk, bantuan alat, atau pelatihan itu kayak langit dan bumi kalau kita bandingkan dengan apa yang dijanjikan. Dan jangan lupakan soal lahan. Di tengah makin mahalnya harga tanah, pemuda yang pengin jadi petani butuh modal gede, dan itu bukan hal yang gampang. Kalau nggak punya lahan, mau bertani di mana?
Ngomong-ngomong soal teknologi, dunia pertanian sebenarnya sudah mulai modern di banyak negara. Tapi sayangnya, di Indonesia, perkembangan ini masih lambat. Meski sudah ada beberapa teknologi yang masuk, kayak drone untuk nyemprot pestisida atau sistem irigasi otomatis, implementasinya masih sangat terbatas. Pemuda yang pengin berkecimpung di pertanian modern jadi mikir dua kali. Kenapa harus ribet dengan teknologi yang belum sempurna, kalau ada pilihan karier lain yang lebih jelas arahnya?
Lalu ada satu lagi data yang bikin kita mikir keras: komposisi petani di Indonesia masih didominasi oleh generasi yang sudah sepuh. Menurut data terbaru, petani generasi X (usia 43-58 tahun) menguasai 42,39% dari total petani di Indonesia. Sementara itu, petani baby boomer (59-77 tahun) menempati angka 27,61%. Jadi, lebih dari 55% petani kita usianya sudah di atas 55 tahun. Kondisi ini tentu nggak ideal, mengingat regenerasi petani di kalangan anak muda sangat minim.
Petani milenial (27-42 tahun) memang ada 25,61%, tapi sayangnya generasi Z, yang usianya 11-26 tahun, hanya menyumbang 2,14%. Sungguh angka yang jauh dari harapan, padahal generasi muda inilah yang seharusnya bisa membawa perubahan besar dalam sektor pertanian. Kondisi ini makin diperparah dengan adanya 2,24% petani pre-boomer, mereka yang usianya di atas 78 tahun, yang masih aktif bertani. Bayangkan, generasi yang mestinya sudah menikmati masa pensiun justru masih harus turun ke sawah.
Padahal, petani milenial sebenarnya punya potensi besar untuk membantu pemerintah menjaga ketahanan pangan nasional. Dengan akses teknologi dan pendidikan yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya, mereka bisa menghadirkan inovasi baru dalam dunia pertanian. Tapi kalau dari segi jumlah masih kalah jauh dengan generasi yang lebih tua, bagaimana pertanian kita bisa berkembang?